Selasa, 06 Agustus 2019

Argumen kemunafikan


NEGERIKU

      Sebatang rokok kunyalakan, Asap putih perlahan mulai membumbung tinggi, memenuhi ruangan ini, pikiran liar ku mulai merangkai kata-kata. Kubiarkan imajinasi liar ku melayang kemanapun ia mau, kubiarkan ia bebas tak terkendali. Satu-persatu permasalahan di negeri ini mulai memenuhi kepalaku. Selucu inikah negeri ku ini, aku tersenyum sendiri memikirkan negeriku ini, yang katanya kaya tapi rakyatnya masih menderita. Hampir semuanya di kuasai bangsa lain.
Memang lucu negeriku ini, para penguasanya sering cari sensasi hingga lupa rakyatnya kelaparan di bawah sana. mereka lupa akan janji-janji mereka dulu, atau memang mereka sengaja melupakanya ?. Aku tertawa melihat tingkah polah mereka. Dulu katanya negeriku ini Gemah Ripah Loh Jinawi, tapi nyatanya kita bagai tikus yang kelaparan di lumbung padi.




TUMBUH
  
             Tumbuh dewasa... Segera tubuh dewasa Itu yang ku harapkan saat aku masih kecil. Begitu menyenangkan melihat mereka, kehidupan mereka yang mapan, kerja yang menjanjikan, masa depan cerah, semua terasa indah dan sempurna menjadi orang dewasa.

Tapi aku merasa ada yang salah, angan-angan ku berbenturan dengan fakta yang ada. Apa seperti ini yang dinamakan menjadi dewasa ?. Semua orang di sekitarku satu-persatu mulai menghilang, canda tawa menghilang entah kemana. Orang-orang baru pun datang silih berganti, mereka munutupi wajah asli mereka dengan topeng-topeng kemunafikan dan mereka mengatas 
namakan diri mereka teman. Apakah seperti ini menjadi dewasa ?. Penuh kemunafikan. 


Aku benci tumbuh dewasa, aku muak dengan keteraturan, aku mulai kehilangan rasa bermain-mainku, semua di isi dengan keseriusan, saling menjatuhkan satu-samalain, saling tikam-menikam demi kepuasan individu. Apa ini yang disebut dewasa?, Kalau itu yang disebut dewasa, aku tidak mau menjadi dewasa, aku mau menjadi anak kecil selamanya. Tertawa bebas lepas tanpa beban dan mendefinisikan bahagia itu secara sederhana, tidak serumit saat dewasa, semua di ukur dengan harta dan tahta tanpa peduli orang-orang di sekitarnya menderita.




Metamorfosa

Tak perlu kau sibuk mengurusi kehidupanku, urusi saja hidupmu sendiri. Ini hidup ku, biarkan aku melakoni lakon hidup ku ini, semua butuh proses, tak ada yang instan. Belajarlah dari kupu-kupu, ia menjadi indah juga butuh proses yang panjang dari ulat, kepompong baru ia bisa menjadi kupu-kupu yang indah.
Begitu juga dengan diriku, harus berproses dahulu. Belajar dari pengalaman yang panjang dan ditempa oleh kerasnya kehidupan, baru bisa bermetamorfosis menjadi manusia yang baru. Semua butuh proses, kau cukup jadi penonton saja dalam peran hidup yang ku jalani tak perlu kau ikut campur dalam hidupku ini.

Kita punya peranan masing-masing dalam skenario yang di buat Tuhan, hanya kebetulan saja kita di taruh dalam satu panggung yang sama yaitu di dunia. Maka perankan saja peranmu jangan kau urusi peran yang di jalani orang lain.